Penting: Caregiver Harus Selalu Ada Ketika Bayi Menangis



Secara naluriah, bayi akan menangis ketika ia merasa kebutuhannya tidak terpenuhi, seperti ketika ia lapar atau ketika popoknya harus diganti. Namun, bayi juga sering menangis hanya karena ingin digendong. Hal itu lumrah saja karena merupakan salah satu kebutuhan psikologisnya, yakni ingin selalu dekat dengan caregiver-nya. Namun, tak jarang, beberapa orang membiarkan bayi ketika ia menangis. Bahkan, beberapa orang malah menganggapnya sebagai “olahraga” bagi bayi. Eeits! Hal itu salah besar lho.

Lingkungan pertama bagi bayi adalah ibu—atau siapapun yang menjadi pengasuhnya. Lingkungan pertama tersebut merupakan landasan terpenting bagi bayi untuk dapat percaya terhadap lingkungan lain yang lebih luas kelak, seperti lingkungan pertemanan. Hal ini sangat berpengaruh pada relasi sosialnya ketika dewasa.

Sebetulnya bayi juga belajar, lho! Ia menangkap hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Hanya saja, ia hanya dapat menerima hal-hal yang terjadi tanpa bisa menyaringnya. Secara psikologis, ia terkondisikan dengan berbagai macam hal—terutama dengan perlakuan orang-orang padanya.

Secure Attachment
Ketika bayi menangis kemudian caregiver ada untuk memenuhi kebutuhannya dan hal itu secara konsisten dilakukan oleh caregiver, maka bayi akan merasa secure, yakni ia yakin bahwa kelak lingkungan akan selalu ada untuknya. Ketika dewasa, individu yang secure akan mudah dalam menjalin pertemanan dan ia akan memandang relasi sosial sebagai sesuatu yang menyenangkan.

Sayangnya, tidak semua caregiver memperlakukan bayi demikian. Sehingga, bayi tersebut menjadi individu yang insecure—bukan hanya tidak percaya diri, melainkan merasa tidak aman ketika ia menghadapi lingkungan, yakni ketika ia harus menghadapi orang-orang.

Avoidant Attachment
Ketika bayi menangis kemudian caregiver mengabaikannya untuk waktu yang lama, dan hal itu terus dilakukan oleh caregiver, maka bayi akan belajar bahwa caregiver tidak selalu ada untuknya. Ia akan belajar untuk “menenangkan” dirinya sendiri, seperti dengan memegang mainan kesukaannya atau hal apapun yang dapat membuatnya tenang. Maka, ketika caregiver pada akhirnya datang untuknya, bayi tersebut akan bersikap tak peduli pada caregiver-nya atau tak acuh. Ketika dewasa, individu ini cenderung tidak terlalu peduli dengan orang-orang karena ia merasa mampu menyelesaikan semuanya sendiri. Individu semacam ini cenderung sulit untuk dekat secara emosional dengan orang lain (karena ia merasa tidak terlalu membutuhkan mereka), dan mungkin ia akan menampilkan diri sebagai seseorang yang berprestasi, sebagai alih-alih untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain.

Ambivalent Attachment
Ketika bayi menangis kemudian caregiver memperlakukannya dengan baik, seperti mengatakan, “Ibu ada di sini, Sayang” lalu menggendongnya, tapi di waktu berikutnya, caregiver mengabaikannya ketika ia menangis, maka terjadi inkonsistensi perlakuan dari caregiver. Inkonsistensi tersebut membuat bayi tumbuh menjadi individu yang ambivalen. Jika perlakuan yang tidak konsisten ini terus dilakukan, maka bayi akan bersikap “butuh-tidak butuh” terhadap caregiver-nya. Misalkan, saat caregiver datang karena bayi menangis, ia menolak caregiver untuk menenangkannya. Namun ketika caregiver pergi, ia kembali menangis.

Saat dewasa, individu yang ambivalen akan kesulitan untuk berelasi dengan orang lain. Ia akan takut untuk berelasi dengan orang lain karena takut akan penolakan, atau bahkan terkadang merasa tidak membutuhkan orang lain karena tidak nyaman terlalu dekat dengan mereka. Padahal di satu sisi, ia sangat mendambakan relasi yang hangat dari orang lain—ia sangat mendambakan penerimaan dan kasih sayang yang mendalam. Dalam berelasi dengan pasangan, mungkin individu ini akan bersikap sangat clingy (lekat) pada pasangannya. Namun di satu sisi, ia akan sangat menolak pasangannya karena takut jika suatu saat ia akan ditinggalkan.

Disorganized Attachment
Tipe disorganized terjadi pada caregiver yang melakukan kekerasan emosional maupun psikologis pada anak-anak atau bayi mereka, atau terjadi karena bayi melihat caregiver-nya mengalami suatu trauma tertentu.

Misalkan ketika bayi menangis, bukannya ditenangkan, caregiver malah membentak bayinya. Jika hal ini terus dilakukan, bayi akan mengalami trauma. Ia akan kebingungan atau takut ketika caregiver-nya memang sedang berupaya untuk menenangkannya. Hal ini terjadi karena caregiver yang seharusnya ada untuk memenuhi kebutuhannya malah menjadi ancaman yang menakutkan baginya. Padahal di satu sisi, ia membutuhkan caregiver untuk menenangkannya. Namun, ia merasa tidak menemukan solusi akan pemenuhan kebutuhannya karena takut dengan sosok caregiver.

Perlakuan semacam ini paling fatal, lho! Karena bayi mengalami kebingungan apakah caregiver-nya menyayanginya atau tidak, maka ia sendiri tidak mampu mengenali perasaan orang lain maupun perasaannya sendiri. Ketika dewasa, individu ini memandang lingkungan sebagai ancaman. Sehingga, ia akan bereaksi dengan cara yang sama—entah itu membiarkan dirinya (pasrah), menghindar, atau parahnya, berperilaku agresif kepada orang-orang.

Nah, setelah mengetahui betapa pentingnya penerimaan dari sosok caregiver, mulai sekarang jangan diamkan bayi ketika menangis, ya! Segera datang padanya dan tenangkan ia—sekalipun sulit untuk ditenangkan. Perlakukan bayi dengan sebaik-baiknya karena ia merekam semua hal yang dilakukan caregiver. Memang butuh kesabaran, tapi salah-salah bisa fatal, ‘kan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hentikan: Self-Harm Berujung Self-Reward!